Kata Wawasan mengandung arti pandangan, tinjauan, penglihatan atau tanggap inderawi. Selain menunjukan kegiatan untuk mengetahui isi serta arti pengaruh-pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa, juga melukiskan cara pandang, cara tinjau, cara lihat atau cara tanggap inderawi.
Sedangkan istilah Nusantara dipergunakan untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak diantara Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia serta diantara Benua Asia dan Benua Australia.
Jadi Wawasan Nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide Nasionalnya, yang dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945, yang merupakan aspirasi bangsa indonesai yang merdeka, berdaulat dan bermartabat, seta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan perjuangan nasional.
1. Landasan WASANTARA
Landasan Wasantara:
1) Pancasila (Falsafah Negara) sebagai landasan Idiil
2) Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi negara) sebagai landasan Konstitusional
3) Wawasan Nusantara (Visi negara) sebagai landasan Visional
4) Ketahanan Nasional sebagai landasan Konsepsional
5) Garis-garis Besar Haluan Negara (kebijaksanaan dasar negara) sebagai landasan Oprasional
2. Wawasan Nusantara dalam hubungannya dengan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia
Wawasan Nusantara sebagai penghayatan hidup, sebagai pengakuan cirri-ciri dan tabiat ruang hidup seisinya telah dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia, namun tidak terumuskan secara eksplisit dan sistematis. Hal ini dapat dimengertikarena titik berat kemampuan nenek moyang bangsa Indonesiamasih terletak pada budi, karenanya penalurian keyakinan hidup berlangsung mulai seloka-seloka atau simbol-simbol maupun nyanyian-nyanyian dengan kata-kata kiasan dan tuntutan perilaku dengan pengaruh-pengaruh kejiwaan tertentu.
Tetapi sebagai pedoman bagi pembinaan nasional, sebagai sistem pembinaan nasional (Sisbinas) atau tata hidup dan kehidupan negara dan bangsa, baru diberi pengukuhan hukum secara resmi ialah dengan termuatnya di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia pada tahun 1973, yaitu TAP MPR No. IV/MPR/1973 tanggal 22 Maret 1973 tentang Garis-g aris Besar Haluan Negara (GBHN) dan dalam TAP MPR No. II/MPR/1983, tanggal 12 Maret 1983. dalam TAP MPR ini tersebut Pokok-pokok Wawasan Nusantara yang dinyatakan sebagai Wawasan dalam mencapai tujuan Pembangunan Nasional yang disebut Wawasan Nusantara, yang mencakup:
a. Kesatuan Politik: Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan Politik dalam arti:
1. Bahwa kebulatan Wilayah Nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupaka satu Kesatuan Wilayah, wadah, ruang hidup dan kesatuan matra seluruh Bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.
2. Bahwa Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa harus merupakan Kesatuan Bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.
3. Bahwa secara psikologis, Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, se-Bangsa dan se-Tanah Air, mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita Bangsa.
4. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya Falsafah serta Ideologi BAngsa dan Negara, yang melandasi, membimbing dan mengarahkan Bangsa menuju tujuannya.
5. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu Kesatuan Hukum dalamn arti bahwa hanya ada satu Hukum Nasional yang mengabdi kepada Kepentingan Nasional.
b. Kesatuan Sosial Budaya: Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Nasional dan Budaya, dalam arti:
1. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan Bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan Bangsa.
2. Bahwa Budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu; sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan Budaya Bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan Budaya Bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.
c. Kesatuan Ekonomi: Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti:
1. Bahwa Kekayaan Wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata diseluruh wilayah Tanah Air.
2. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang diseluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.
d. Kesatuan Pertahanan Keamanan: Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satuKesatuan Pertahanan dan Keamanan dalam arti:
1. Bahwa ancaman terhadap satu pulau satudaerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh Bangsa dan Negara.
2. Bahwa tiap-tiap Warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan Negara dan Bangsa.
LATAR BELAKANG WASAN TARA
1. Geografi, Geopolitik, Geostrategi
A. Geografi
Keadaan geografi dan demografi Indonesia sebagai negara terbesar diantara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667. Sedangkan menurut hasil penelitian ulang oleh Dinas Hidrohosiografi TNI-AL berjumlah 17.508 pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau besar dan kecil, dengan 6.044 diantaranya memakai nama, dan yang lainn belum dikenal namanya.
Kepulauan Indonesia bertebaran bersebelahan-menyebelahi garis khatulistiwa dengan batas disebelah:
Utara : ± 6° 08´ LU (Lintang Utara)
Selatan : ± 11° 15´ LS (Lintang Selatan)
Barat : ± 94° 45´ BT (Bujur Timur)
Timur : ± 114° 05´ BT (Bujur Timur)
Jarak paling jauh antara dua tempat, dengan arah:
– Utara – Selatan = ± 1.888 km
– Barat – Timur = ± 5.110 km
Pulau-pulau yang terpenting menurut luasnya diantaranya adalah:
Kalimantan (Wilayah RI saja) = 539.460 km²
Sumatra = 473.606 km²
Irian Jaya (Wilayah RI saja) = 421.951 km²
Sulawesi = 189.951 km²
Jawa dan Madura = 132.174 km²
Bagian barat wilayah Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar, yang mempunyai cirri-ciri Benua Asia daratan, sedangkan bagian timurnya kecuali Irian Jaya merupakan kumpulan pulau-pulau kecil dari Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Bagian barat perairan Indonesia relatif dangkal dan bagian timur Perairan Indonesia relatif dalam. Dengan demikian, maka bagian barat Indonesia wilayah daratannya lebih menonjol, sedangkan dibagian timur perairan atau lautan yang lebih dominan.
Karena wilayah Indonesia memiliki iklim tropis dan dua musim (penghujan dan kemarau), sehingga amat dipengaruhi oleh adanya angina-angin panas, tetapi tidak dilanda oleh typhoon-typhoon, yang menyebabkan daerah ini sangat baik untuk lalu-lintas penerbangan dan pelayaran.
Wilayah Indonesia pada umumnya terdiri dari tanah subur kecuali di Kalimantan, yang sebaian subur dan sebagiannya lagi kurang subur, sedangkan Irian Jaya pada umumnya kurang subur kecuali daerah dataran tinggi.
Indonesia memiliki kekayaan yang efektif maupunpotensial, terutama bahan-bahan vital dan strategisseperti minyak bumi, timah, besi, bauksit, mangan, batu bara dan lain-lain.
Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau-pulaubesar dan kecil, dan mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudra-samudra yang sangat luas, yaitu Samudra Indonesiadan Pasifik, dan juga diapit oleh dua Benua yaitu Australia dan Asia.
Kepulauan Indonesia dengan semua perairannya, dipandang oleh bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah-pisah antara satu pulau dengan pulau lainnya. Cara pandang bangsa Indonesia tersebut telah lama dihayati, sehingga didalam menyebut tempat hidupnya atau tanah tumpah darahnya pun digunakan istilah “tanah air”.
Istilah “tanah air” mengandung arti bahwa bangsa Indonesia tidak pernah memisahkan tanah dengan air atau memisahkan daratan dengan lautan. Daratan dengan lautan merupakan satu kesatuan yang utuh, sedangkan laut dianggap sebagai pemersatu, bukan sebagai pemisah antara pulau yang satu dengan pulau yang lainya. Jika diperhatikan, letak tanah air Indonesia yang disebut nusantara itu maka akan terlihat: di utara dan selatan ada benua-benua, sedangkan di timur dan di barat adalah samudra-samudra, atau dapat dikatakan bahwa kedudukan Indonesia terletak pada suatu tempat atau posisi silang, di tengah-tengah percaturan lalulintas kehidupan dunia yang sangat ramai.
B. Geopolitik
1). Istilah Geopolitik
Istilah geopolitik adalah singkatan dari Geographical politic; dicetuskan oleh seorang sarjana ilmu politik wedia yang bernama Rudolph Kejellen (1864-1922) pada tahun 1990-an. Kejellen mencetuskan istilah tersebut dalam rangka mengemukakan suatu sistem politik yang menyeluruh, yang terdiri atas Geopolitik, Demopolitik, Ekonomopolitik, Sosiopolitik, dan Kratopolitik. Gagasannya tercantum dalam buku Staten som lifsform (Der staat als lebensform, The State as an Organism), yang diterbitkan pada tahun 1916.
Istilah Geopolitik semula oleh penulisnya dipakai sebagai sinonim dari Ilmu Bumi Politik (Political Geographi) suatu cabang ilmu bumi yang dikembangkan oleh Frederich Ratzel (1844-1904). Istilah Geopolitik kemudian berubah artinya setelah dipopulerkan oleh seorang Jerman yang bernama Karl Haushofer (1869-1946) dengan menjuruskannya Ekspansionisme dan Rasialisme. Menurut Haushofer lingkup Geopolitik mencakup seluruh sistem politik Kjellen, jadi Demopolitik, Ekonomopolitik, Sosiopolitik, dan Kratopolitik termasuk Goepolitik.
Di negara di luar Jerman dan Jepang, istilah Geopolitik pengertianya adalah sinonim dari Ilmu Bumi Politik meskipun ada penulis yang membedakannya.
Menurut Encyclopedia Americana (L.K.D. Kristof): Ilmu Bumi Politik (Political Geography) mempelajari fenomena geografi dari aspek politik sedang geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek geografi. Dapat dikatakan bahwa perbedaannya terletak pada fokus perhatian dan tekanan dimasing-masing bidang studi, bidang geografi atau politik. Sedangkan menurut Encyclopedia Brittannica (D. Whittersley) Geopolitik bisa berarti: Ilmu Bumi Politik terapan (Applied Political Geography).
2). Ajaran Ratzel dan Kjellen
Pada akhir abad ke-19, teori evolusi Darwin dan Metodologi ilmu pengetahuan alam dan Biologi sedang populer di Eropa, sehingga banyak cabang ilmu lainya ingin menerapkan metodologi Biologi. Ratzel merupakan seorang ahli geografi yang mendalami Biologi untuk memperluas cakrawalanya. Dalam bukunya yang bejudul Anthropo Geography dan Politische Geography, dia menyatakan bahwa pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup (lebensraum) yang mencukupi agar dapat tumbuh dengan subur.
3). Ajaran Karl Haushofer
Sejak embrio, ajaran Karl Haushofer sudah dicurigai sebagai ajaran yang menuju ke arah peperangan. Kecurigaan itu disebabkan karena Haushofer dalam desertasinya (1914) mengutip Herakleitos yang menyatakan bahwa “perang adalah babak segala hal” atau dengan perkataan lain, perang merupakan hal yang diperlukan untuk mencapai kejayaan suatu negara dan bangsa.
Haushofer adalah seorang Jenderal Jerman yang pernah bertugas di Jepang dan mengagumi bangkitnya Jepang sebagai kekuatan dunia. Setelah kembalinya ke Jerman dia meneruskan belajar ke Universitas Munich sehingga mencapai gelar Dokter of Philosophy. Setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia I dia pension dan kemudian menjadi pengajar di Universitas Munich. Berkat kedudukannya sebagai guru besar Haushofer dapat menyatakan bahwa Geopolitik dikembangkan secara ilmiah. Tetapi usahanya hanya diakui di Jerman dan Jepang saja sedangkan diluar kedua negara tersebut Geopolitik menurut versinya dianggap pseudoscience. Di Jerman ajaran Haushofer mempengaruhi Hitler yang tercermin dalam bukunya Mein Kampf yang ditulis bersama Rudolph Hess, bekas ajudan Haushofer yang kemudian menjadi orang ketiga dalam pemerintahan Nazi Jerman. Bencana Perang Dunia II antara lain disebabkan oleh ajaran Haushofer/ Hitler yang ekspansionis dan rasialis.
Inti ajaran Haushofer adalah sebagai berikut:
a) Lebensraum (ruang hidup; living space)
Oleh kaum Geopolitik lebensraum diartikan atas hak suatu bangsa atas ruang hidup untuk dapat menjamin kesejahteraan dan keamanannya. Tuntutan atas hak itu didasarkan pada teori bahwa negara itu adalah suatu organisme yang tunduk pada hukum biologi. Dengan demikian negara memerlukan ruang hidup yang mencukupi agar dapat menjamin kehidupan bangsa secara layak. Menurut Geopolitik versi Jerman, hanya negara besar yang dianggap tumbuh; negara kecil diangga sudah ditakdirkan akan mati terserap oleh negara besar.
b) Autarki
Autarki merupakan cita-cita untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Kaum Geopolitik Jerman beranggapan bahwa setiap kesatuan politik harus menghasilkan apa yang diperlukannya. Cita-cita ini cukup rasional bila tidak diembel-embeli dengan ajaran organisme, yang menyatakan bahwa suatu negara berhak mendapatkan sumber alam dari negara tetangga yang kecil bila membutuhkannya.
c) Pan-region (perserikatan wilayah)
Sudah lama Jerman menuntut untuk memperluas wilayahnya sehingga meliputi semua daerah yang rakyatnya berbahasa Jerman. Suatu daerah kebudayaan Jerman dipetakan oleh kaum Geopolitik sebagai bagian dari wilayah Jerman yang dikaruniakan oleh alam (antara lain meliputi juga Australia, Bohemia, Selesia). Aspirasi territorial yang ekspansionis itu diperluas dengan mengusulkan pengelompokan politik dunia kedalam tiga atau empat “Pan-region”. Masing-masing dari kesatuan politik yang diusulkan itu akan dikepalai oleh salahsatu negara besar yang ada; sehingga Autarki dapat dilaksanakan diperserikatan wilayah.
Pembagian wilayah perserikatan adalah sebagai berikut:
1) Pan-Amerika adalah “perserikatan wilayah” yang paling alami karena wilayah itu terpisah dengan negara lain oleh samudra; Amerika dianggap sebagai pemimpinya. Kaum Geopolitik sangat mengagumi Doktrin Monreo (America for the Americans) sebagai negarawan yang pertamakali menyatakan cita-cita itu.
2) Pan-Asia terdiri dari bagian timur Benua Asia, Australia, dan kepulauan diantaranya. Jepang memberi nama Pan-region ini “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Jepang merupakan satu-satunya negara diluar Jerman yang dapat cepat menganut faham Geopolitik karena dapat melihat keuntungannya. Doktrinnya adalah Hako I Chiu.
3) Pan-region yang akan dikuasai Jerman ialah Eropa da Afrika. Bukan hanya negara kecil di Eropa yang akan digabungkan dalam Euro-Afrika tetapi juga negara besar seperti Prancis dan Italia karena Inggris dan Uni Soviet dirasakan tidak akan menerima pengelompokan itu, maka Jerman mencari alternatifnya. Uni Soviet disarankan membuat Pan-region sendiri sedang Inggris dibiarkan mengambang.
4) Uni Soviet menguasai Pan-region yang ke empat yang terdiri dari Rusia dan India.
Bagi orang non-Jerman dapat dirasakan bahwa bila ajaran “Pan-region” itu dilaksanakan pasti akan menimbulkan peperangan karena Inggris dan Prancis pasti tidak akan takut tanpa melalui perjuangan.
d) Kekuatan darat lawan kekuatan laut
Upaya kaum Geopolitik untuk menguasai dunia antara lain dijalankan dengan mempelajari dan mengevaluasi daerah yang dianggap sangat strategis. Kaum Geopolitik mengambil alih pendapat ahli Geografi Inggris, Sir Halford Mackinder yang menyatakan bahwa Eropa Timur dan Rusia merupakan daerah poros (pivot area), kemudian disebut “daerah jantung” (hearland) untuk menggambarkan strategi daerah tersebut.
Barang siapa menguasai daerah jantung, maka akan dapat menguasai pulau dunia (Eropa-Asia), dan barang siapa menguasai pulau dunia akan menguasai dunia. Berbatasan dengan daerah jantung terbujur daerah “bulan sabit dalam” yang mempunyai pantai. Daerah Bulan Sabit Dalam selalu mepunyai sifat maritime. Daerah ini dapat dikuasai oleh negara yang berpusat di darat tetapi mempunyai kekuatan laut yang cukup besar yakni Jerman. Dengan jalan pikiran yang demikian, Haushofer menyarankan agar Jerman bersekutu dengan Rusia tetapi harus dijaga bahwa Jerman harus dalam kedudukan yang lebih unggul. Selanjutnya berbatasan dengan “bulan sabit dalam” adalah “bulan sabit luar” yang dianggap kurang menentukan dalam percaturan dunia.
e) Daerah perbatasan
Kaum Geopolitik menganggap bahwa satu negara berhak atas “perbatasan alam”. Setiap perbatasan tidak akan stabil apabila perbatasan itu memisahkan kekuatan potensial yang jauh berbeda. Negara tetangga yang lemah merupakan makanan yang empuk bagi yang kuat, terutama apabila negara yang lemah mempunyai sumber alam yang kaya atau merupakan daerah yang strategis.
Dalam buku Bausteine Zur Geopolitik, menyatakan bahwa:
Geopolitik adalah doktrin negara di dunia.
Geopolitik adalah doktrin perkembangan politik didasarkan pada hubungannya dengan bumi.
Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari organisme politik dari ruang susunannya.
Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup suatu organisme negara untuk mendapatkan ruang hidupnya.
Untuk melengkapi Geopolitik sebagai suatu wawasan, disini akan dikemukakan mengenai Wawasan Benua, Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara, Wawasan Kombinasi yang sedikit banyak mempengaruhi Wawasan Nusantara sebagai Wawasan kekuatan.
o Wawasan Benua
Tokohnya adalah Sir Halford Mackinder (1861-1947), seorang ahli Geografi Inggris. Dia menyatakan bahwa kekuatan darat ada kemungkinan untuk menguasai kekuatan maritim. Daerah yang dianggapnya paling strategis adalah daerah jantung yang meliputi seluruh daerah Eropa Tengah, Eropa Timur, Tibet dan Mongolia. Menurut pendapat Mackinder ”Barang siapa dapat menguasai daerah Eropa Timur maka bangsa itu akan menguasai daerah jantung. Barang siapa menguasai daerah jantung maka menguasai Pulau Dunia (Eurasia-Afrika). Barang siapa menguasai Pulau Dunia akan dapat menguasai dunia.
o Wawasan Bahari
Tokohnya adalah Alfred Theyer Mahan (1840-1914), yang menulis buku The Influence of sea Power Upon Histori, 1660-1783. Hipotesa Mahan yang pokok adalah bahwa kekuatan laut itu sangat vital bagi pertumbuhan, kemakmuran dan keamanan nasional. Mahan mengemukakan bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu negara sebagai kekuatan laut, yakni: letak geografi, wujud bumi, luas wilayah, penduduk, watak nasional dan sifat pemerintahan.
Tokoh lain dari Wawasan Bahari adalah Sir Walter Raleigh (1554-1618) yang menyatakan bahwa ”Siapa yang menguasai lautan akan menguasai perdagangan dan siapa yang menguasai perdagangan berarti akan menguasai dunia.
o Wawasan Dirgantara
Pada masa Geopolitik dikembangkan, Wawasan Nusantara masih embrio jadi tidak banyak dibahas oleh kaum Geopolitik Jerman. Baru setelah Perang Dunia I, Giulio Douhet (1869-1930), yang menulis buku Dominio dell’Aria, Saggio Sull’arte della Geura Aerea (The Command of the Air: Essay in the Art of Aerial Warfare) yang terbit pada tahun 1921 menjadi tokoh Wawasan Dirgantara. Tokoh yang lain adalah William “Billy Mitchel”, yang menulis buku Winged Defence yang terbit pada tahun 1925. Kedua tokoh itu menyatakan bahwa kekuatan udara akan menjadi kekuatan yang menentukan.
o Wawasan Kombinasi
Tokohnya adalah Nicholas J. Spykman (1893-1943). Teori daerah batas (Rimland) berasal dari Spykman. Pada saat ini kebanyakan negara menganut teori Kombinasi (bukan hanya teori Spykman) yang merupakan integrasi dari Wawasan Benua , Bahari, dan Dirgantara.
C. Geostrategi (posisi silang Indonesia)
Posisi silang Indonesia ini tentusaja membawa pengaruh-pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa berupa pengaruh baik dan pengaruh buruk terhadap segala kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa dan negara harus lebih memperhatika dan mempertimbangkan pengaruh atau faktor-faktor yang tidak menguntungkannya dalam menyusun suatu strategi pengembangan kelangsungan hidup.
Karena posisi silang Indonesia yang demikian baik itu, maka mudah untuk mengundang datangnya bahaya atau ancaman dari luar. Lebih-lebih kalau posisi silang Indonesia itu dikaitkan dengan sumber-sumber kekayaan alamnya, maka bahaya atau ancaman dari luar itu akan lebih besar lagi, karenanya harus lebih diperhatikan lagi. Mengenai bahaya atau ancaman dari luar itu telah dibuktikan oleh sejarah Indonesia.
Bila posisi silang tesebut dianalisa lebih lanjut, maka ternyata bahwa ia tidak bersifat fisik-geografis belaka, tetapi juga dalam segala aspek sosial, antara lain:
• Demografis, antara daerah yang berpenduduk tipis di selatan (Australia) dengan daerah yang padat penduduknya di Utara (RRC dan Jepang).
• Idiologis, antara Liberalisme di Selatan dan komunisme di Utara.
• Politis, antara sistem demokrasi parlementer di Selatan dan sistem dictator proletariat di Utara (ASIA daratan bagian utara).
• Ekonomi, antara sistem Ekonomi Liberal (Kapitalisme di Selatan dan sistem ekonomi terpusat di Utara).
• Sosial, antara individualisme di selatan dan komunisme/ sosialisme di utara (komune-komune).
• Budaya, antara kebudayaan Barat di Selatan Dan kebudayaan Timur di Utara.
• Hankam, antara sistem pertahanan kontinental (kekuatan di darat) di Utara dan sistem pertahanan Maritim di Barat, Selatan dan Timur.
Posisi silang merupakan posisi yang menimbulkan proses akulturasi yang menjadikan bangsa Indonesia sebagaimana dewasa ini, baik sosial, religi, bahasa, maupun budaya. Posisi silang hanya memberikan dua kemungkinan bagi kita sebagai negara dan bangsa yang berdaulat, yakni:
• Membiarkan diri sendiri terus menerus menjadi obyek dan lalu lintas kekuatan-kekuatan dan pengaruh-pengaruh dari luar yang melintasi kedudukan kita, dengan setiap kali menyandarkan dan menggantungkan diri kepada kekuatan/pengaruh yang terbesar pada suatu waktu.
• Atau ikut serta mengatur lalu lintas kekuatan-kekuatan dan pengaruh-pengaruh tersebut dalam arti ikut memainkan peranan sebagai subyek.
Alternatif ini menuntut kemampuan kita menciptakan kekuatan sentrifugal.
Kunci bagi hal tersebut di atas ialah “kemampuan untuk mentransformasikan kekuatan-kekuatan dan pengaruh-pengaruh dari luar menjadi kekuatan nasional yang dikendalikan dan digunakan sebagai kekuatan-kekuatan sentrifugal”. Kekuatan disini dimaksudkan sebagai kekuatan yang berisikan sifat-sifat fisik dan mental yang tidak ekspansif.
Pengaruh-pengruh yang buruk, yang dapat membahayakan identitas dan integrasi bangsa, dapat segera menimbulkan hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat timbul dari dalam atau luar, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk, menghadapi, mengatasi dan menguasai semua hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan tersebut, maka mutlak diperlukan adanya suatu konsep Ketahanan Nasional, yang memakai dasar atau landasan Wawasan Nusantara.
Sifat-sifat khas dan kepribadian bangsa, dirumuskan dalam bentuk cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan idea nasionalnya yaitu Pancasila dan UUD 1945, sebagai aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaula dan bermartabat ditengah-tengah lingkungannya yang menjiwai segenap tindak kebijaksanaannya dan daya upaya mencapai tujuan nasional. Cara pandang tersebut kini dikenal sebagai Wawasan Nusantara.
2. Historis dan Yuridis Formal
a. Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Wilayah
Bila kita meninjau latar belakang Wawasan Nusantara dengan pendekatan sejarah dan Yuridis, maka berarti bahwa kita akan meninjau perjuangan bangsa Indonesia untuk mengembangkan Wawasan Nusantara di forum Internasional.
Gagasan Wawasan Nusantara berpangkal tolak dari konsepsi negara kepulauan (archipelagic state cocept).
Konsep negara kepulauan mula-mula dikemukakan pada tanggal 13 Desember 1957 dalam bentuk “Deklarasi Juanda” yang menyatakan:
1) Bahwa benuk georafi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan mempunyai corak dan sifat tersendiri.
2) Bahwa menurut sejarah sejak dulu kala kepulauan Indonesia merupakan suatu kesatuan.
3) Bahwa batas laut territorial yang termaktub dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 memecah keutuhan territorial Indonesia kerena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Pada saat itu pemerintahan Indonesia menyatakan bahwa lalulintas damai di perairan pedalaman bagi kapal asing dijamin dan bahwa pendirian Indonesia akan dikemukakan dalam Konferensi Intrnasional mengenai hukum laut Internasional. Pernyataan ini membuktikan bahwa pemerintahan Indonesia bersedia menghormati hukum laut internasional dan tata pergaulan internasional.
Dalam konferensi hukum laut internasional yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1958, pendirian Indonesia diperdebatkan tetapi hasilnya masih kurang menguntungkan bagi Indonesia. Keunikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan belum dapat dipahami oleh negara maritime yang berpengaruh, meskipun kelihatannya dengan nyata bahwa integritas teritorial Indonesia terganggu dengan adanya kapal perang Belanda yang lalulalang di perairan Nusantara mengganggu pelayaran kapal-kapal Indonesia.
Kesukaran untuk meyakinkan kebenaran pendirian Indonesia, disebabkan pada saat itu yang dikenal baru rezim archipelago, sedangkan rezim archipelagic state belum dikenal.
Yurisprudensi Mahkamah Internasional dalam kasus Inggris lawan Norwegia mengenai pengukuran wilayah dengan teori dan titik luar ke titik luar berikutnya terbatas pada coastal archipelago sedangkan untuk mid-ocean archipelago belum ada yurisprudensinya.
Untuk memperkuat kedudukan hukumnya, Deklarasi Juanda dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4 Tahun 1960 yang diikuti dengan peraturan pelaksanaan mengenai lalu lintas damai kendaraan laut asing dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1962.
Dengan berlakunya PERPU No. 4 tahun 1960 yang menyatakan bahwa laut wilayah lebarnya 12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base line) dan bahwa semua kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat, yang terdiri atas laut territorial dan laut nusantara.
Selama ini luas wilayah Indonesia yang tercatat hanya wilayah daratan saja, sedangkan wilayah laut territorial tidak pernah diukur karena berdasarkan ordonantie tahun 1939, setiap pulau mempunyai laut wilayah sendiri-sendiri sehingga tidak memungkinkan menghitung luas laut wilayah dari 13.667 pulau yang ada.
Sementara itu pemeintah Indonesia menganggap perlu untuk mengamankan sumberdaya alam yang terdapat dalam laut wilayah nasionalnya mengingat bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dilandas kontinen sudah dapat dilakukan berhubung adanya kemajuan teknologi. Untuk itu pada tanggal 17 Februari 1969, pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi tentang landas kontinen dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut.
1) Segala sumber mineral dan sumber kekayaan alam lainnya, termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya di landas kontinen, merupakan milik Indonesia dan berada di bawah yurisdikasinya yang eksklusif.
2) Dalam hal landasan kontinen Indonesia, termasuk depressie-deressie (bagian yang dalam) yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk melalui perundingan dengan negara yang bersangkutan untuk menetapkan suatu garis batas sesuai dengan prinsi-prisip hukum yang bersangkutan.
3) Menjelang tercapainya persetujuan seperti yang dimaksud di atas, Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta memberikan izin untuk produsi minyak dan gas bumi dan untuk eksploitasi sumber-sumber mineral ataupun kekayaan alam lainya hanya untuk daerah sebelah Indonesia dari garis tengah atau (median line) yang ditarik dari pantai pulau-pulau Indonesia yang terluar.
4) Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengruhi sifat serta setatus daripada perairan diatas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang udara di atasnya.
Pengumuman Pemerintah Indinesia tersebut sesuai dengan kebiasaan praktek negara dan dibenarkan pula oleh Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa suatu negara pantai atau kepulauan mempunyai penguasaan dan yurisdiksi yang eksklusif atas kekayaan mineral dan kekayaan lainya dalam dasar laut dan tanah di dalamnya di landas kontinen.
Selain itu, Pemerintah Indonesia merasa penting untuk menyelesaikan soal-soal garis landas kontinen dengan negara tetangga sebelum ditemukan deposit (endapan mineral) agar penyelesaiannya lebih mudah.
Perundingan segera diadakan dengan negara tetangga dan berkat semangat kebijaksanaan bertetangga baik (good neighbood policy), maka perjanjian segera dapat ditandatangani pada tahun itu juga.
Perjanjian garis batas kontinen yang pertama berhasil diadakan dengan Malaysia pada bulan Oktober tahun 1969, yang kemudian disusul oleh penandatanganan perjanjian dengan negara tetangga lain sebagai berikut:
1). Perjanjian RI dengan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen kedua Negara (di Selat Malaka dan laut Cina Selatan) ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969, yang mulai berlaku tanggal 7 November 1969.
2). Perjanjian RI dengan Thailand tentang landas kontinen Selat Malaka bagian Utara dan Laut Andaman, ditandatangani tanggal 17 Desember 1971 dan berlaku mulai tanggal 7 April 1972.
3). Persetujuan RI dengan Malaysia dan Thailand mengenai landas kontinen bagian utara tanggal 21 Desember 1971 dan berlaku tanggal 16 Juli 1973.
4). Persetujuan RI dengan Australia tentang penetapan atas batas dasar laut tertentu (di laut Arafuru, di depan pantai selatan Pulau Irian dan di depan pantai utara Irian) tanggal 18 Mei 1971 dan berlaku mulai tanggal 19 November 1973.
5). Persetujuan RI dengan Australia tentang penetapan batas-batas dasar laut tertentu di daerah Laut Timor dan Laut Arafuru sebagai tambahan pada persetujuan tanggal 18 Mei 1971, tanggal 9 Oktober 1972.
6). Persetujuan RI dengan India tentang penetapan garis batas kontinen antara kedua Negara (batas antara Sumatra dengan Nikobar), ditandatangani dan mulai berlaku tanggal 8 Agustus 1974.
Persetujuan batas kontinen dengan negara-negara tetangga di atas, telah menguatkan pendirian bahwa RI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen seluas ± 800.000 mil² (± 2.072.000 km²). Indonesia mempunyai kekuasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, pemilikannya ada pada negara Indonesia. Selanjutnya pengumuman Pemerintahan tentang landas kontinen tahun 1969 telah dikukuhkan dengan Undang-Undang No. I tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
Disamping persetujuan mengenai garis batas landas kontinen di atas, pemerintah Republik Indonesia telah mengadakan pula perjanjian garis batas laut wilayah dan perjanjian perbatasan (meliputi perbatasan darat dan laut) dengan negara tetangga sebagai berikut:
1). Perjanjian antara RI dengan Malaysia tentang penetapan garis batas laut Wilayah kedua Negara di Selat Malaka, ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1970.
2). Perjanjian antara RI dengan Singapura tentang penetapan garis batas laut Wilayah kedua Negara di Selat Singapura, ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973.
3). Perjanjian antara RI dengan Australia mengenai garis-garis batas tertentu antara Papua New Guinea, ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973.
Perjuangan untuk menegakan Wawasan Nusantara dibidang wilayah di forum negara-negara tetangga yang telah menghasilkan persetujuan dan perjanjian tersebut di atas, dilanjutkan dengan perjuangan di konferensi Hukum Laut Internasional ke III yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS).
Dalam konferensi internasional itu, Indonesia dengan aktif memperjuangkan “azas kepulauan” yang selama ini belum dikenal dalam rezim laut internasional. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa perjuangan yang dilakukan sejak tahun 1957 baru berhasil setelah diterimanya Hukum Laut Internasional yang sesuai dengan konsep Nusantara pada tahun 1982 yang telah ditandatangani oleh hampir semua negara di Dunia.
Setelah itu, untuk membulatkan konsep kewilayahannya, pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Indonesia telah mengumumkan tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang lebarnya 200 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Pengumuman Pemerintah tersebut didorong oleh faktor sebagai berikut:
1). Semakin terbatasnya persediaan ikan
Dengan memperhitungkan peningkatan jumlah penduduk dunia, maka berdasarkan studi FAO, tahun 2000 permintaan dunia akan ikan untuk bahan makanan akan dua kali lipat yaitu lebih dari 52 juta ton pertahun. Sedangkan hasil perikanan dunia dari Conventional species menjelang tahun 2000 akan berada di bawah tingkat permintaan dunia terhadap ikan. Mengingat perhitungan tersebut tadi, sebagaimana negara-negara pantai yang sedang berkembang lainya, merasakan sangat mendesaknya kebutuhan untuk melindungi sumber daya hayati yang berada di laut di luar laut wilayah, agar pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk bahan makanan rakyat Indonesia akan lebih terjamin. Perlindungan tersebut hanya dapat diberikan secara efektif dengan mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang memberikan hak-hak berdaulat atas segala sumber daya hayati.
2). Pembangunan Nasional Indonesia
Pemerintah Indonesia pada waktu itu telah berada dalam tahun ke dua Repelita yang ke III. Dalam rangka usaha pembangunan ini, maka sumber daya alam yang terdapat di laut di luar batas laut wilayah sampai ke batas 200 mil dari garis pangkal laut wilayah, dasar lautnya, dan tanah di bawahnya, harus pula dapat dimanfaatkan bagi peningkatkan kesejahteraan bangsa, sehingga seyogyanya dilindungi dan di kelola dengan cara yang tepat, terarah dan bijaksana. Sumber ini merupakan suatu modal dasar pembangunan guna mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan UUD 1945.
3). Zona Ekonomi Eksklusif sebagai rezim Hukum Internasional
Sampai saat ini telah ada lebih dari 90 negara yang telah mengeluarkan pernyataan tentang Zona Ekonomi Eksklusif ataupun Zona Perikanan yang lebarnya 200 mil. Kenyataan menunjukan praktek negara yang konsisten sehingga ada konvensi ataupun tidak ada konvensi hukum laut yang baru, Zona Ekonomi Eksklusif telah menjadi bagian dari Hukum Internasional.
Dilain pihak, praktek negara yang diikuti oleh negara tetangga yang pada saat itu masih berunding dengan kita tentang penentuan garis batas maritime yang telah menimbulkan situasi yang tidak seimbang.
Tanpa Zona Eksklusif, Indonesia dihadapkan pada tindakan unilateral negara tetangga tersebut yang memperlemah posisi Indonesia. Hal ini antara lain yang mendorong kapal-kapal ikan asing yang dibatasi ruang geraknya oleh Zona Ekonomi/ perikanan negara tetangga kita akan berpindah ke laut yang berdekatan dengan pantai Indonesia dan meningkatkan pengurasan sumber daya ikan di situ. Didalam pengumuman tersebut Indonesia menyatakan bahwa didalam Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai dan melaksanakan:
a) Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan pelestarian sumber daya hayati, nonhayati dan hak berdaulat lainya eksplorasi dan eksploitasi sumber tenaga dari air, arus, dan angina.
b) Hak Yurisdiksi yang brhubungan dengan:
Pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainya.
Penelitian ilmiah mengenai laut.
Pelestarian lingkungan laut.
Hak lain berdasarkan Hukum Internasional.
Didalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut dijamin sesuai dengan Hukum Internasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diikuti dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1983, setahun setelah ditandatanganinya Hukum Laut Internasional yang baru di Teluk Montego, Jamaika, oleh hampir seluruh peserta konferensi Hukum Laut Internasional (kecuali Amerika dan tiga negara lainya).
Akhirnya konsep wilayah yang menyeluruh, yang sesuai dengan Wawasan Nusantara dilengkapi dengan wilayah kita di ruang udara dimana Orbit Geostasioner sejauh 36.000 km dinyatakan sebagai wilayah kita berdasarkan penjelasan pasal 30 Undang-Undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Setelah kita memagari wilayah kita dengan peraturan perundang-undangan, marilah kita meninjau apa yang menjadi masalah dalam hukum laut dan udara internasional yang menerlukan perjuangan selama dua puluh lima tahun itu.
Yang menjadi soal utama dalam hukum laut internasional adalah: Apakah laut dapat dimiliki oleh suatu negara atau tidak? Selama ini, sejarah hukum laut internasional mengenal pertarungan antara kedua konsepsi pokok yakni:
1) Res nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang mempunyai dank arena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
2) Res communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia, dan oleh karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.
Praktek Negara-negara
Kelihatannya bahwa laut itu dapat dan memang pernah dimiliki oleh negara walaupun pemilikan tersebut harus pula memperhitungkan kepentingan masyarakat dunia dalam bentuk pelayaran dan lain-lain. Contohnya negara Venesia menuntut sebagian besar dari Laut Adriatik; tuntutan ini diakui oleh Paus Alexander III dalam tahun 1177. Dengan demikian Venesia dapat memungut bea bagi setiap kapal yang berlayar di Laut Adriatik. Kalau Venesia hanya menuntut Laut yang berdekatan dengan pantainya maka Portugis dan Spanyol menuntut laut yang jauh dari pantainya. Ternyata tuntutan itu diakui juga oleh Paus Alexander IV pada tahun 1493 dengan pembagian untuk Portugis sebelah Timur garis meridian 100 leagues (± 400 mil laut) sebelah barat Azores yang mencakup Atlantik sebelah selatan Maroko dan Samudra Hindia, sedangkan Spanyol mendapat Samudra Atlantik Barat, Teluk Meksiko, dan Samudra Fasifik (Perjanjian Tordesilas).
Pembagian itu mendapat tantangan dari Belanda yang terhalang usahanya untuk mencari perdagangan dengan Indonesia. Belanda berusaha untuk mencarikan dasar hukum bagi tuntutanya bahwa laut adalah bebas untuk semua bangsa. Belanda menunjuk ahlinya, Hugo de Groot (Grotius), untuk menulis buku Mare Liberum (Laut Bebas) yang ternyata menjadi sangat mashur (1608). Grotius dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional.
Tulisan Grotius mendapat tantangan dari penulis Inggris, Jhon Selden (1584-1654), yang membela kepentingan Inggris dengan menulis buku Mare Clausum: The right and Dominion of the Sea. Pertentangan ini kemudian menghasilkan kompromi karena pihak Mare Clausum maupun Mare Liberum tidak dapat mempertahankan ajaranya dengan konsekuen.
Grotius yang terbit kemudian, De Jure Belli Ac Pasis (1625) mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat. Konsep pemilikan sebagian dari laut itu disempurnakan oleh Cornelis van Bynkershoek, seorang penulis belanda yang menulis buku De Dominio Maris Desrtatio (1703) menyatan bahwa penguasaan dari darat itu berada sejauh yang dapat dikuasai oleh meriam dari darat, yang pada waktu itu diperkirakan sejauh 3 mil.
Sementara itu ajaran John Selden diperlunak dengan mengakui adanya lalulintas damai (innocent passage). Tetapi ternyata Inggris pun segera meninggalkan ajaran Mare Clausum karena merasa bahwa ajaran itu tidak sesuai dengan kepentingan Inggris.
Usaha untuk memperlebar laut wilayah sudah dimulai oleh negara disekitar laut tengah pada akhir abad ke-17 tetapi berjalan dengan lambat, meskipun dirasakan bahwa lebar laut wilayah yang 3 mil dirasakan sudah tidak mencukupi lagi terutama untuk keperluan perikanan dan kebutuhan ekonomi lainya.
Pada waktu Hindia Belanda turun, ordonasi yang ada adalah Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 masih menyatakan bahwa lebar laut wilayah adalah 3 mil; dan ketentuan dari ordonansi ini tetap berlaku sampai adanya Deklarasi Juanda dan PEPU No. 4 tahun 1960.
Di konferensi Geneva 1958, usul utuk menetapkan lebar laut wilayah menjadi 12 mil belum dapat diterima oleh negara maritime besar karena mereka lebih beruntung bila selat-selat penting masih mempunyai jalur bebas. Sebagai contoh usaha untuk menjadikan Selat Malaka menjadi perairan Internasional tetap berlangsung sampai akhir tahun tujuh puluhan, karena Selat Malaka merupakan garis hidup (life line) yang penting untuk Inggris, Amerika, Jepang, Singapura, dan banyak negara lainya.
Konsepsi penting lainya yang dibahas di konferensi Geneva 1958 adalah konsep “archipelago” dan konsep “negara archipelago” (archipelagic state). Salah satu permasalahan adalah menentukan definisi archipelago dan apakah rezim atau kedudukan hukum dari perairan atau yang terletak di sebelah darat dari garis yang ditarik disekeliling archipelago tersebut. Pertanyaan yang diajukan oleh panitia Persiapan Konperensi Hukum Laut Internasional yang diselenggarakan pada tahun 1930 mengenai: “berapa jauh jarak antara satu pulau dengan pulau lainya agar kumpulan pulau-pulau dapat dinyatakan mempunyai jalur laut wilayah”. Yang belum terjawab pada konferensi Geneva 1958.
Pada tahun 1951 terjadi yurisprudensi Mahkamah Internasional mengenai sengketa Inggris dan Norwegia mengenai penarikan garis pangkal lurus dari titik luar ke titik luar berikutnya (point to point theory) tetapi hal itu hanya berlaku untuk coastal archipelago dan bukan untuk mid ocean archipelago seperti kepulauan Indonesia. Bagi kepulauan Indonesia, pada saat itu dinyatakan bahwa Mare Liberum yang dijadikan Mare Clausum terlampau luas tetapi setelah menjalani perjuangan yang berliku-liku, akhirnya argumentasi Indonesia, Filipina, Fiji, dan negara kepulauan lainya untuk memasukan konsep archipelago state kedalam Hukum Laut Internasional dapat diterima oleh masyarakat Internasional pada tahun1982.
Perjuangan dibidang Hukum Laut Internasional erat hubungannya dengan perjuangan menegakan kedaulatan di udara. Kalau kita membagi wilayah secara horizontal maka kita akan menghadapi batas di darat dan di laut, tetapi kalau kita membagi wilayah secara vertical kita akan menghadapi batas diruang udara, di dasar laut dan tanah di bawahnya.
Sebagaimana hukum laut mempunyai aliran konsep Mare Liberum dan Mare Clausum, maka hukum udara juga mempunyai aliran:
1) Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory)
2) Teori “Negara Berdaulat di Udara” (The Air Souvereignty Theory)
Teori Udara Bebas tebagi pula menjadi dua aliran:
1) Kebebasan ruang udara tanpa batas.
Ruang udara itu bebas, dapat dipergunakan oleh siapapun juga. Tidak ada negara yang mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara.
2) Kebebasan udara terbatas, yang selanjutnya terbagi pula menjadi:
Negara Kolong (negara bawah, subjacent state) berhak mengambul tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatannya. Ketentuan ini diambil oleh siding Institute de Droit Internasional pada sidangnya di Gent (1906), Verona (1910), Madrid (1911). Ditentukan bahwa di waktu damai hubungan udara internasional adalah bebas kecuali adanya hak negara bahwa untuk mengambil tindakan tertentu demi keamanan dan keselamatannya, sedang diwaktu perang udara hanya diperkenankan bila kehancuran akibat perang udara terhadap barang dan orang tidak lebih besar daripada perang di darat ataupun di laut.
Negara Kolong hanya mempunyai hak terhadap wilayah atau zona territorial tertentu.
Mengenai Teori “Negara Berdaulat di Udara” dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pada saat ini belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Indonesia telah menyatakan bahwa wilayah kita di dirgantara (terdiri atas ruang udara dan antariksa) termasuk Orbit Geo Stasioner yang jaraknya ± 36.000 Km. hal ini tercantum dalam UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Hankam Negara pada penjelasan Pasal 30 Ayat c. Untuk sekadar mengetahui pandangan forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara di sini akan dikemukakan beberapa teori mengenai hal tersebut. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa: “Every states has Complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory” (setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan ekslusif di ruang udara di atas wilayahnya).
Dari pernyataan ini yang jelas adalah bahwa ruang udara bukan wilayah dari negara tersebut sedang yang belum jelas adalah istilah airspace (ruang udara). Istilah “ruang udara” masih sering menimbulkan salah pengertian mengenai batas jarak ketinggian di ruang udara di mana negara itu memiliki kedaulatan; dan bagaimana mengukurnya. Apakah tinggi ruang udara yang berada di bawah kedaulatan suatu negara itu harus diukur dari permukaan laut ataukah harus diukur dari titik tertinggi dari negara itu.
Beberapa teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara haruslah terbatas adalah:
1. Teori Keamanan
Menyatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan untuk menjaga keamanannya. Fauchille yang menganut teori ini mula-mula menyatakan bahwa ketinggian 1.500 meter (1901) tetapi kemudian diturunkannya menjadi 500 meter (1910)
2. Teori Penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory)
Pada tahun 1951 Cooper telah mengajukan teorinya yang menyatakan bahwa kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan untuk menguasai ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah.
Cooper menafsirkan istilah airpace menurut Konvensi Chicago adalah “jalur ruang udara di atmosfer yang berisikan cukup udara (gaseous air) dimana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat gaya angkat (Lift). Jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfer kemudian akan ditentukan oleh kesanggupan pesawat udara mencapai jarak ketinggian yang tertentu (ceiling).
Jarak ketinggian kemampuan pesawat udara tersebut tentunya akan ditentukan oleh kemajuan teknik pada suatu masa tertentu, makin maju teknologi penerbangan makin besar jarak penerbangan.
Teori Cooper menguntungkan negara yang mempunyai kemampuan teknologi tinggi dan merugikan negara berkembang. Negara besar seperti USA dan USSR menganut teori ini dan dalam hal ini USA misalnya menyebut suatu jarak 600 mil, sedangkan USSR menyarankan 110 Km. Bila teori Cooper diterapkan pada negara berkembang berarti kedaulatan di udara bagi negara berkembang pada saat ini hanya beberapa km saja.
3. Teori “Udara” (Schachter)
Menyatakan bahwa wilayah udara itu haruslah sampai suatu ketinggian dimana udara masih cukup mampu mengangkat (mengapungkan) balon dan pesawat udara (is sufficienthy dense to support balloon and airplanes). Pada saat ini ketinggian tersebut berada di sekitar 30 mil dari permukaan bumi.
Mengenai cara menarik garis batas ruang udara secara vertical dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
a) Menarik garis dari “pusat bumi” ke batas wilayah negara kea rah angkasa yang mengakibatkan bahwa “wilayah udara” lebih luas daripada wilayah darat dan laut (seperti kerucut).
b) Menarik garis tegak lurus dari perbatasan wilayah negara ke angkasa yang berarti ada kantong-kantong udara bebas mengingat bentuk bumi yang bulat.
Demikianlah sejarah dan persoalan yuridis yang menyangkut wilayah negara Republik Indonesia. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa wilayah Republik Indonesia terdiri atas 3 dimensi, yakni: Wilayah daratan, Wilayah perairan, dan Wilayah udara. Di darat dan di laut persoalan hukumnya sudah selesai, sedang tuntutan kita mengenai wilayah udara masih perlu diperjuangkan di forum internasional.
b. Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Kekuatan
Sampai tahun 1965 dalam perkembangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tiap-tiap matra mempunyai wawasan sendiri seperti:
1) Angkatan Darat menganut Wawasan Benua, yang dirumuskan dalam doktrin “Tri Ubaya Cakti”.
2) Angkatan Laut menganut Wawasan Bahari, yang dirumuskan dalam doktrin “Eka Gasana Jaya”.
3) Angkatan Udara menganut Wawasan Dirgantara, yang dirumuskan dalam doktrin “Swa Buwana Pakca”.
4) Angkatan Kepolisian mempunyai doktrin “Tata Tentram Kerta Raharja”.
Adanya wawasan yang berbeda-beda itu membawa persaingan Angkatan yang tidak sehat yang dimanfaatkan oleh PKI untuk mengadu domba antar Angkatan. Keadaan ini baru disadari setelah terjadinya pemberontakan G 30 S/ PKI, sehingga diadakan upaya untuk menyusun satu doktrin “kesatuan dan persatuan” yang mencakup keempat matra (Polri termasuk ABRI). Upaya ini dilakukan pada tahun 1966 dalam seminar Hankam yang berhasil menyusun doktrin Catur “Dharma Eka Karma”. Pada tahun itulah pertamakali dikumandangkan istilah Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Hankamnas. Kemudian Wawasan Nusantara berkembang menjadi Wawasan Nasional sehingga Wawasan Hankamnas menjadi bagian dari Wawasan Nusantara.
c. Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Ketatanegaraan
Sebagaimana disebutkan di atas, dirasakan perlu adanya Wawasan Nasional yang mencakup Wawasan dalam bidang Politik, bidang Ekonomi, bidang Sosial Budaya, dan bidang Hankam. Pada saat itu telah dirasakan perlu adanya Wawasan Nasional untuk mengembangkan konsep Ketahanan Nasional yang mencakup seluruh kehidupan bangsa dan negara.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa Wawasan Nasional kita diresmikan oleh MPR dengan TAP MPR No. IV Tahun 1973, TAP MPR No. IV Tahun 1978, dan TAP MPR No. II Tahun 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar