Indonesia Bersatu, Jangan Mau Diadu
BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA. Demikianlah konsep yang digelontorkan seorang pujangga termahsyur, Mpu Tantular, dalam Kakawin Sutasoma. Ungkapan itu muncul sebagai jalan tengah atas berkembangnya pemeluk Hindu Siwa dan Buddha Mahayana pada zaman Majapahit.
Sesanti itu kemudian tertemurunkan manakala negeri gemah ripah loh jinawi berjuluk Nusantara, menuju gerbang kemerdekaan dengan mengusung nama Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, demikian semboyan Ibu Pertiwi. Penegasan sikap atas “berbeda-beda namun tetap satu jua” ini terpatri, bersanding dengan lambang negara, Garuda Pancasila.
Dalam lintasan sejarah, negeri ini dibesarkan oleh berbagai elemen. Banyak peradaban yang turut menjadi fondasi. Nusantara merupakan melting pot kebudayaan-kebudayaan besar dunia. Ini karena Nusantara memiliki posisi geografis yang strategis, sehingga menjadi primadona kaum pedagang.
Lihat saja betapa mahsyurnya negeri yang juga dikenal dengan sebutan Jawa Dwipa ini di kalangan pedagang Tiongkok. Begitupun dengan pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat, yang menjalin hubungan dagang di sini. Pada abad-abad berikutnya, harumnya potensi rempah-rempah di Indonesia Timur dan alam Hindia Belanda yang subur, seolah menjadi warisan tak ternilai yang tertemurunkan.
Dari perpaduan kultur inilah kemudian lahir bentuk-bentuk baru yang relatif luwes. Batik, misalnya. Muncul motif-motif baru di luar motif Parang Rusak maupun Parang Barong ala bangsawan keraton. Jawa Hokokai, atau batik Pantura yang lebih cerah, menjadi tetenger akulturasi yang begitu indah.
Meneer-meneer dan mevrouw pada masanya bahkan turut bersarung dan berkebaya. Selanjutnya di kalangan pribumi muncul bahasa-bahasa baru seperti bahasa Petjoek, Melayu Pasar, bahkan mereka berhasil membumikan bahasa Belanda yang sulit dilafalkan menjadi mudah untuk dilisankan.
Fietsen –sepeda- diJawakan menjadi pit. Atau spooryang di kemudian hari diejawantahkan dalam kata “sepur”. Di Semarang, lantaran sulit menyebut tanah milik Van Hendrik dengan bahasa Belanda –Van Hendrik Laand– maka warga sekitar menamainya dengan Pindrikan.
Selain dalam bahasa dan busana, sejumlah arsitektur bangunan-bangunan di Nusantara juga menjadi saksi manisnya perpaduan antarperadaban. Masjid Muara Angke di Jakarta atau Masjid Sekayu di Semarang, misalnya. Kedua masjid itu dibangun oleh muslim berkebangsaan Tiongkok. Untuk Masjid Sekayu, konon mereka merupakan utusan Raden Patah yang bertahta di Kerajaan Demak. Bukti otentik berupa aksara Tionghoa masih dapat ditemui di blandar masjid.
Paduan lain juga terselip pada Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Gereja ini memiliki wajah Jawa dengan sentuhan Hindu yang kental. Gereja ini memiliki candi yang serupa dengan Prambanan, lengkap dengan arca Yesus dan Maria. Yesus dipanggil dengan Sang Maha Prabu Jesus Kristus, sementara Maria memiliki nama Jawa Dyah Marijah Iboe Ganjuran.
Konflik SARA Semestinya Tak Ada
Ibarat sebuah bangunan, tatkala fondasi kuat, maka kuat pulalah bangunan itu. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia.
Catatan perjalanan sejarah bangsa ini telah membentuk satu fondasi yang teramat kuat untuk mengokohkan kebhinnekaan di dalamnya. Semestinya itu yang terjadi. Seharusnya itu yang berlangsung.
Akan tetapi apa yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, nampak tidak seperti bangunan yang kokoh diterjang bah. Keretakan demi keretakan berangsur-angsur timbul dari dalam. Bangunan ini pun lama-lama tergerogoti.
Pesan-pesan yang termaktub dalam bhinneka tunggal ika, perlahan pudar. Golongan tertentu memandang rendah golongan yang lain. Golongan tertentu menatap sinis golongan yang lain. Mengapa itu terjadi? Banyak alasan. Yang populer, karena tak sepemikiran.
Mengutip pemikiran Boediono pada pidato pengukuhan guru besarnya, menjaga kebersamaan dan persatuan dalam suatu negara bukan hanya didasarkan pada kepercayaan tetapi juga penghargaan pada pihak lain di negara itu dengan memberi kesempatan berkuasa dan menyumbangkan kemampuannya membangun bangsa.
Boediono menekankan, penghargaan dan kepercayaan antarkelompok di negara ini sebenarnya telah ada, meskipun pada taraf yang tidak sangat tinggi. Dalam sejarah bangsa ini ternyata perseteruan antar kelompok yang mendalam belum pernah ada, baik antarsuku maupun antaragama. Persoalan yang muncul lebih banyak sebagai indikasi dari belum matangnya bangsa ini. (Faturochman, Model-model Psikologi Kebhinnekatunggalikaan dan Penerapannya di Indonesia).
Untuk mencapai kematangan itu, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan. Langkah ini tidak selalu harus diinisiasi oleh empunya jabatan, namun setiap warga negara Indonesia yang peduli, sebetulnya mampu untuk terjun merangkul.
Pertama, perlu ditumbuhkan penyadaran sejarah bangsa yang berulang-ulang terhadap segenap elemen bangsa, khususnya sedari dini. Seorang anak memiliki daya serap yang besar, sehingga pengenalan sejarah negeri yang ditumbuhkan dari berbagai elemen akan membuka cakrawala pikir akan arti pentingnya menghargai perbedaan.
Kedua, perlu mengakomodasi sifat pluralistik yang meliputi sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, serta tidak memandang remeh pada pihak lain apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama. (Suprapto, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
Ketiga, dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawarah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. (Suprapto, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
Keempat, membuang jauh-jauh rasa saling curiga mencurigai, iri hati, maupun dengki. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan. (Suprapto, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
Kelima, membudayakan kembali P4 dengan pola lain, antara lain: (1) perlunya mata pelajaran budi pekerti yang berisikan penghayatan dan pengamalan Pancasila di sekolah; (2) perlunya mata kuliah filsafat pancasila; dan (3) perlu diberikan pematangan jiwa pancasila melalui pemimpin informal dan formal di lingkup masyarakat. (Muhammad Yusril, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, 2009).
Seorang narasumber dalam sebuah diskusi mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan pada medio Januari 2017 menyampaikan, konflik bernuansa agama tidak melulu tentang perbedaan teologi. Konflik yang muncul selalu diiringi dengan problem lain. Ini menjadi perkara yang musti didalami. Apakah ada kesenjangan ekonomi, persoalan politik, atau ada hal lain yang menyertainya.
Belajar dari Poso, konflik yang pernah muncul di sana juga terjadi tak semata akibat adanya perbedaan pandangan dalam beragama. Konflik berlangsung akibat para elit politik daerah mempergunakan agama sebagai tameng dan kendaraan politik. Mereka memanfaatkan agama untuk mengamankan dan mencapai kepentingan politik dan ekonomi di Poso dengan cara memobilisasi massa melalui hasutan isu sensitif agama dan etnis. (Igneus Alganih, Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001)
Segenap elemen republik ini tentu tak ingin Poso jilid dua kembali terjadi. Sia-sialah darah tertumpah hanya demi ego yang tak jelas arah.
Dalam khazanah ilmu Sosiologi, konflik bernuansa SARA dikategorikan sebagai konflik horizontal. Ilmu yang sama juga memberi metode penyelesaian konflik, yang disebut dengan akomodasi. Akomodasi memiliki cabang yang banyak. Tinggal bagaimana cara-cara ini dijalankan hingga terwujud rasa aman untuk hidup dalam perbedaan.
Indonesia bukan milik satu agama. Indonesia bukan milik satu suku. Indonesia harus dijaga dari disintegrasi. Cara-cara preventif musti dikedepankan untuk membumikan kebhinnekaan di bumi pertiwi. Di usia Indonesia yang makin menua, sesanti Bhinneka Tunggal Ika semestinya sudah bukan lagi cita-cita. Semestinya sudah membumi. Semestinya sudah berpadu, agar bangsa ini tak mudah diadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar