Izinkan Saya Belajar Cinta
Izinkan saya kali ini bicara tentang cinta. Bukan menggurui tentang cinta. Tetapi ingin belajar tentang cinta. Walau kalimatnya tak seindah pujangga. Walau sentuhannya tak sesyahdu Ibnu Qoyyim. Walau alurnya tak sekuat Ibnu Hazm. Tapi setidaknya saya punya cinta. Dan harus belajar cinta. Untuk terus mengabadikan mekarnya. Agar ia tak mengenal musim.
Saya tahu Romeo dan Juliet bukan tempat belajar yang pas. Karena apalah istimewanya cinta berujung pada petaka. Itu bukan bukti setia, tetapi kepicikan cinta.
Saya juga tahu Qois dan Laila bukan lambang kasih yang sejati. Karena mengapa mencinta harus seperti Qois yang mencintai Laila hingga ia bergelar Orang yang gila Laila (Majnun Laila). Dan apakah ini cinta yang agung itu,
Aku melewati negeri, negerinya Laila........aku ciumi dinding demi dinding
Bukanlah cinta negeri yang memenuhi hatiku.....tetapi cinta yang menempati negeri itu
Tapi izinkan saya belajar dari dua ulama besar tentang bagaimana bercinta. Ulama yang biasa menggores pena ilmu, kini menguntai syair cinta. Ibnu Qoyyim dan Ibnu Hazm.
Ibnu Qoyyim (w: 751 H), sebuah nama yang mengkhabarkan kepiawaian di berbagai bidang ilmu. Fikih, aqidah, hadits, tafsir, hinggaaaa....cinta. Sebuah buku tentang cinta yang ditulis mengayun-ayun kita. Raudhatul Muhibbin (taman orang-orang bercinta). Begitulah, kita diajak Ibnu Qoyyim berjalan-jalan di taman tempat orang-orang memadu cinta. Dua perpaduan yang serasi. Damainya taman dengan dominasi warna hijau dan damainya cinta dengan dominasi warna kesejukan.
Mari kini kita biarkan Ibnu Qoyyim mulai mengalun bersama simponi cinta,
“Cinta sebuah nama yang sulit dipahami, tetapi begitu kuat menggelayut di hati.”
Ibnu Qoyyim mengungkap dahsyatnya cinta. Setidaknya, kemampuan dia menemukan 60-an nama untuk cinta membuat dia berkesimpulan,
“Kebiasaan mereka membuat banyak nama untuk sesuatu, jika sesuatu itu sulit dipahami atau besar bahayanya bagi hati sebagai bentuk: pengagungan baginya atau perhatian baginya atau cinta padanya. Untuk yang awal seperti singa dan pedang. Untuk yang kedua seperti kecerdikan. Untuk yang ketiga seperti khamar (minuman keras). Dan ketiga hal ini semuanya ada pada cinta. Maka mereka memberikan hampir 60 nama untuk cinta.”
Ibnu Qoyyim ingin menghadirkan kepada kita betapa agungnya cinta. 60 nama untuk cinta adalah salah satu buktinya. Jika singa dan pedang yang juga mempunyai banyak sebutan, hanya karena orang Arab mengagungkan dan mengaguminya. Jika kecerdikan yang banyak mempunyai nama, karena orang Arab begitu perhatian padanya. Jika khamar yang bisa menjelmakan dirinya dalam berbagai nama, karena orang Arab mencintai dan menyenanginya.
Maka cinta lebih dahsyat dari semuanya. Cinta begitu diagungkan. Cinta begitu diperhatikan. Cinta begitu dicintai. Ehm...
Kalau Ibnu Qoyyim mendayu-dayu bersama alunan riak cinta, mungkin bukan hal yang aneh. Tak begitu mengejutkan. Betapa Ibnu Qoyyim adalah ulama multi talenta. Perhatikanlah untaian kata-katanya. Apapun ilmu yang sedang dibahasnya, kalimatnya selalu dibalut kelembutan cinta dengan kedalaman makna sedalam cinta menyelami sepanjang hidupnya.
Nuansa dan filosofi cinta selalu bisa dirasakan pada setiap goresan pena Ibnu Qoyyim. Jadi bukan hal yang tiba-tiba, jika dia membangun taman-taman orang bercinta.
Ibnu Qoyyim telah menebar cinta dari arah timur. Ternyata 3 abad sebelumnya, cinta itu telah bersemi di hati Ibnu Hazm (w: 456 H) dari arah barat. Andalus menjadi saksi itu.
Ada yang sangat menggelitik. Bukan sekadar Ibnu Hazm yang menulis buku tentang cinta. Tetapi kenalilah dulu seorang Ibnu Hazm. Ibnu Hazm telah membuat dunia mengecam dia. Lisan dan penanya yang sangat tajam cenderung kasar terhadap ulama lain. Sehingga membuat Abu al-Abbas Ibnu Arrif berkata, “Lisan Ibnu Hazm dan pedang al-Hajjaj dua bersaudara.”
Al-Hajjaj, siapa yang tidak tahu. Penguasa dzalim yang telah menumpahkan ratusan ribu darah muslimin. Bahkan di antara mereka ada shahabat Rasulullah. Ibnu Hazm telah disejajarkan lisannya dengan al-Hajjaj. Ibnu Hazm di tengah pujian para ulama atas kemampuan dan kecerdasannya, dia dikritik atas lisan yang tajam terhunus kepada para ulama yang berseberangan dengannya.
Di sinilah uniknya. Ternyata kerasnya lisan tidak membuat Ibnu Hazm sanggup menghalau serbuan cinta yang meminta untuk disampaikan. Lahirlah dari tangannya sebuah ungkapan tentang cinta. Nama bukunya pun lembut, lembuuut sekalii.....Thauqul Hamamah (Kalung Merpati). Ya, merpati burung lembut itu sering menjadi lambang perdamaian dan cinta hari ini. Dan ternyata sejak Ibnu Hazm dulu.
Lisan yang tajam. Pena menusuk. Tetapi hati tetap lembut ketika berpapasan dengan cinta. Bahasa lisan dan pena Ibnu Hazm harus berubah. Cinta telah mengubahnya. Ibnu Hazm dipaksa bertekuk lutut di hadapan cinta.
Mari kita dengar bahasa lembut Ibnu Hazm mengurai kata cinta,
“Cinta –semoga Allah memuliakanmu- awalnya adalah gurauan dan akhirnya adalah keseriusan, terlalu rumit untuk diungkapkan maknanya karena begitu agungnya, tak bisa diselami hakekatnya kecuali dengan penuh kesulitan. Cinta bukan hal yang mungkar dalam agama, tidak pula dilarang dalam syariat.”
Pembahasan cinta yang melibatkan rasa, air mata dengan berjuta warna dan rasa membuat Ibnu Hazm harus mampu mengurai seperti keahlian dia menyampaikan peliknya ilmu fiqih. Ibnu Hazm berhasil. Perpaduan antara dalil yang cenderung tidak mesra dengan pengalaman mengarungi cinta terasa kental berbaur.
Mari kita dengar Ibnu Hazm bicara tentang tanda orang yang sedang jatuh cinta berbasis pengalaman,
“Tanda orang jatuh cinta adalah munculnya tanda-tanda yang justru bertolak belakang. Sebongkah es jika lama digenggam dengan tangan akan bekerja seperti api.
Maka kita bisa jumpai dua orang yang telah bertemu dalam cinta dan terikat dalam hubungan yang kuat, justru sering bermarahan tanpa sebab, berseberangan dalam pembicaraan secara sengaja, saling menyerang pada masalah yang sepele, mengincar kata pasangannya yang kemudian dibelokkan artinya. Ini semua adalah pengalaman.
Bedanya antara hal ini dengan perbedaan dan saling serang yang lahir karena benci adalah perbedaan karena cinta ini akan sangat cepat damai.
Anda akan lihat dua orang yang sedang jatuh cinta dan terlibat perbedaan tajam, yang bagi orang lain akan memerlukan waktu lama untuk bisa diselesaikan dan cenderung mustahil ditambal lagi, tetapi Anda akan lihat betapa mudahnya mereka berdua kembali dalam kedekatan, dikorbankannya segera sikap saling mencela, gugurnya perbedaan. Mereka berdua bahkan pada saat itu bisa langsung bercanda tawa dan bermesra ria. Begitulah, hal itu bisa terjadi berkali-kali dalam satu waktu.
Jika Anda melihat ini terjadi antara dua orang, maka jangan lagi ragu, jangan lagi bimbang dan tidak perlu didebatkan bahwa telah terajut cinta yang mereka berdua rahasiakan.”
Cinta, ternyata siapapun yang membicarakannya. Orang seperti Ibnu Qoyyim atau orang seperti Ibnu Hazm. Cinta tetap cinta. Dengan sejuta rasa. Taman penuh warna. Bejana penuh rasa. Cinta tetap cinta. Ibnu Qoyyim yang mengulas atau Ibnu Hazm yang membahas.
Cinta, begitulah kekuatannya. Ia mampu memaksa siapapun tanpa kenal kasta sosial ataupun ilmu. Orang biasa ataupun ulama besar. Jika cinta datang menyapa, ia akan membuat lisan setajam pedang pun berubah menjadi kumpulan untaian kalimat puitis yang sejuk.
Cinta, ia selalu bicara tentang dirinya sendiri. Kosa kata cinta bisa menekuk lutut semua kewibawaan yang dibayangkan oleh orang biasa tentang orang-orang besar seperti ulama.
Rangkaian kisah cinta dari orang-orang besar ini mencoba untuk menguak kehidupan cinta mereka. Dan bagaimana mesin cinta bekerja dengan caranya sendiri pada kehidupan mereka. Akan banyak kejutan dan hentakan-hentakan cinta pada kehidupan mereka. Bedanya, kita akan belajar tentang cinta mulia dan bukan cinta murahan. Karena cinta itu telah bergulat dengan ilmu dan kesholihan. Walau cinta tetaplah cinta. Dengan kisahnya sendiri…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar