KATA BIJAK

Manusia dan masalah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Jadi jangan pernah pisahkan dirimu dari ALLAH SWT. Sebab Dialah sebaik-baik penolong manusia dari beragam masalah........
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.


Jumat, 01 September 2017

KEBERADAAN ALLAH SWT MENURUT AL-QUR'AN DAN AS SUNNAH

Ketika para ulama salaf ditanya tentang kaiffiyah istiwa (cara Allah bersemayam) mereka menjawab: "Istiwa (bersemayam) Allah itu sudah dipahami, sedangkan cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." Jadi, kaum salaf sepakat bahwa kaiffiyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid'ah. Karena hal itu tidak dilakukan oleh para salaf di zamannya. Jika ada orang yang bertanya, "Bagaimana cara Allah turun ke langit dunia?" Maka tanyakanlah kepadanya, "Bagaimanakah DIA?" Jika dia mengatakan, "Saya tidak tahu kaiffiyah (kondisi)-Nya." Maka jawablah, "Maka dari itu kita tidak mengetahui kaiffiyah turun-Nya. Sebab untuk mengetahui kaiffiyah sifat harus terlebih dahulu mengetahui kaiffiyah dzat yang disifati itu." Karena sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifatinya. Begitu juga ketika kita ingin menanyakan sifat keberadaan Allah. Kita harus tahu kondisi Allah. Jadi bagaiman mungkin kita menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, bersemayam, turun, padahal kita tidak mengetahui bagaimana kaifiyyah dzat-Nya? Satu-satunya yang bisa menjelaskan keberadaan Allah, hanyalah Allah subhanahu wata'ala sendiri. Dan Allah sendiri telah menjawab pertanyaan ini lewat nash-nash dalam Alqur'an atau As Sunnah. Keterangan dari keduanya itulah yang sebenarnya bisa diterima dan diakui dalam aqidah Islam, jauh dari konsep pemikiran akal manusia. Sebab jawaban kita hanya semata-mata dari keterangan Allah Subhanahu Wata`ala sendiri yang secara formal telah memperkenalkan diri-Nya kepada kita. 1. Allah Berada di Atas Arsy Keterangan dari Allah ini dapat kita temukan pada ayat-ayat-Nya di bawah ini: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-Araf : 54) Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Yunus : 3) Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan , menjelaskan tanda-tanda , supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d : 2) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy .(QS. Thaha : 5) Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy , Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia. (QS. Al-Furqan : 59) Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy . Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(QS. As-Sajdah : 4) Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas 'arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Hadid : 4) Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. (QS. Al Haaqqah: 17) 2. Allah Berada di Langit “Tidakkah kamu merasa aman dari Allah yang berada DI LANGIT bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang. Atau apakah merasa aman terhadap Allah yang DI LANGIT bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) mendustakan peringatan-Ku”. ( QS Al-Mulk : 16-17). Selain itu ada hadits dari Rasulullah SAW yang juga menjelaskan tentang di manakah Allah SWT itu . Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kasihanilah yang di bumi maka kamu akan dikasihani oleh YANG DI LANGIT". (HR. Tirmiziy). Rasulullah bersabda: Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit. [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat] Namun tentang bagaimana keberadaan Allah SWT di langit dan di asry, kita tidak punya keterangan pasti. Maka kita imani keberadaannya sedangkan teknisnya seperti apa, itu majhul atau tidak dapat diketahui karena keterbatasaan panca indera serta keterbatasan akal manusia. Dan bertanya tentang seperti apa teknisnya adalah bid’ah. Ini adalah jawaban paling aman dan inilah yang diajarkan Imam Ahmad kepada kita. 3. Tentang Allah Dekat dan Ada di Mana-mana "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaaf : 16) Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawa­blah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku...(QS Al-Baqarah: 186). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid : 4) Namun kata ma’a tidak berarti menunjukkan tempat seseorang berada. Sebab dalam percakapan kita bisa mengatakan bahwa aku menyertaimu, meski pada kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah SWT dalam ayat ini adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan. Seperti ketika Rasulullah berkata pada Abu Bakar saat berada di dalam gua, "Jangan kamu sedih, Allah beserta kita". Ini tidak berarti Allah SWT ikut masuk gua. Tapi, lebih bermakna bahwa mereka berada dalam pengawasan Allah. Jadi, keterangan yang mengatakan Allah ada di mana-mana bukan merujuk pada tempat atau keberadaan-Nya, melainkan kebersamaan-Nya melalui pengawasan serta rida-Nya bagi orang-orang yang teguh berada di jalan-Nya. Perpaduan antara ma'iyah (kebersamaan) dan 'uluw (keberadaan di atas) bisa terjadi pada makhluk. Seperti dikatakan: "Kami masih meneruskan perjalanan dan rembulan pun bersama kami". Kalimat ini tidaklah dianggap bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu? Apakah tidak bisa dikatakan bahwa Dia bersama Makhluk-Nya di samping Dia Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di atas 'arsy-Nya? (Kaidah-kaidah Utama..., hal. 156). Syeikh 'Utsaimin menjelaskan tentang, ayat "...Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada." (QS 57: 4), bahwasannya ma'iyah (kebersamaan) dalam ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pengertian Allah Subhanahu Wata'ala bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-'Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115, cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil Al-Harras), mengatakan: "Dan pengertian dari firman-Nya: 'Dan Dia bersama kamu', bukanlah berarti bahwa Allah itu bercampur dengan makhluk-Nya karena hal ini tidak dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan seba­gai satu tanda dari tanda-tanda (kemahatinggian dan kebesaran) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama musafir dan yang bukan musafir di mana saja berada padahal musafir tentunya berada di bumi, terpisah dari bulan yang berada di langit)." Menurut Syeikh 'Utsaimin: Tidak ada orang yang berpendapat dengan makna bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang terdahulu dari Jahmiyah dan mereka yang mengatakan bahwa Allah dengan dzat-Nya berada di setiap tempat. Maha suci Allah dari perkataan mereka dan amat besar dosanya atas ucapan yang keluar dari mulut mereka. Apa yang mereka katakan tiada lain adalah kebatilan. Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf dan imam yang sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut menim­bulkan beberapa konsekwensi yang tidak dapat dibenarkan yang menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat kekurangan dan mengingkari keberadaan Allah di atas makhluk-Nya. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS. Al Baqarah: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya sebagai berikut. Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya. (Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang bersumber dari Ibnu Umar.) Kalimat maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah. Menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan Allah ada di mana-mana adalah bathil karena itu merupakan perkataan golongan bid'ah dari aliran Jahmiyah dan Mu'tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama'ah, yaitu Allah subhanahu wa ta'ala ada di langit di atas Arsy, di atas semua makhlukNya. Akan tetapi ilmu-Nya ada di mana-mana (meliputi segala sesuatu). Bagaimana seseorang bisa mengatakan bahwa dzat Allah berada pada setiap tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk, padahal Allah SWT itu "KursiNya meliputi langit dan bumi" (QS 2:255), dan "Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya" (QS 39:67)? 4. Tentang Allah Ada di Dalam Diri dan Hati Manusia Dalam hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah SWT berfirman: "Barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan segala yang Kufardukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." (HR. Bukhari). Hadis ini sering digunakan sebagai dalil oleh para sufi untuk menunjukan kebersatuan Allah dengan makhluk-Nya. Atau istilahnya, manunggaling kawula Gusti. Ini jelas pendapat yang tidak benar. Bagaimana mungkin Dzat Allah bercampur dengan Makhluk-Nya? Firman Allah Ta'ala: "Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi", sesungguhnya memiliki makna bahwa Allah membenarkannya, menjaganya mengenai pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya menggunakannya dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla. Ibnu Daqiq Al-Ied berkata: "Arti firman Allah itu bahwa ia (yang dicintai Allah ini) tidak mendengarkan apa yang tidak diizinkan Allah baginya untuk mendengarnya, dan tidak melihat sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya, dan tidak mengulurkan tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..." selesailah arti­nya itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh firmaNya dalam akhir hadits Qudsi tersebut: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Artinya, Allah Ta'ala menyertainya dengan menyetujuinya, menolongnya, dan menjaga anggota-anggota badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah setimpal dengan perbu­atan. Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka terbantahlah pendapat yang mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam hati dan diri manusia. 5. Tentang Allah Seperti Udara, Angin, Cinta, dll Nu'aim bin Hammad, guru Imam Al Bukhari mengatakan, "Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Diri-Nya atau disandangkan oleh Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasulullah saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah: Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun (QS.Asy-Syuura: 11) Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlas: 4) Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah (QS. An-Nahl: 47). Ketidaktahuan dalam masalah ini merupakan sesuatu yang masih dapat dimaafkan. Demikian juga halnya dengan kekeliruan dan kesalahan dalam memberikan penafsiran. Seandainya hal tersebut tidak dapat dimaafkan, tentu apa yang dilakukan oleh para mutakallimin (teolog) yang menafsirkan nash-nash yang menjelaskan sifat-sifat Allah dihukumi sebagai kekufuran. Di mana mereka membawa nash-nash tersebut kepada pemahaman yang majazi/kiasan (bukan arti yang sebenarnya), dan menganggap hal itu bukan merupakan sesuatu yang tetap bagi Allah dalam pengertian yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan prasangka mereka yang mendorong mereka untuk menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, maka penolakan mereka terhadap nash-nash yang berkaitan dengan masalah sifat-sifat Allah ini didasarkan kepada keinginan untuk menyucikan Allah SWT dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya, menurut prasangka mereka. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya, mereka tidak bermaksud menolak atau mengingkari nash-nash tersebut dengan maksud ingin mendustakannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Imam Ahmad ra menaruh belas kasihan kepada mereka (yakni, aliran Jahmiyyah) dan memaafkan mereka. Karena, menurut pandangan beliau bahwa mereka itu tidak mendustakan Rasulullah saw dan tidak mengingkari risalah (ajaran) yang dibawanya. Akan tetapi, mereka keliru dalam memberikan penafsiran dan mereka mengikuti pendapat orang yang mengatakan hal itu kepada mereka." Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Alqur'an dan Sunnah tanpa melakukan: 1. Tasybih, yakni menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya; 2. Tahrif, yakni mengubah atau mengganti lafal-lafal nama dan sifat Allah. Atau mengganti artinya; 3. Ta'thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi)l, yakni menampik sifat Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah Swt; 4. Takyif (mengondisikan), yakni menentukan kondisi dan menetapkan esesi-Nya. Inilah mazhab para salaf—sahabat, tabi'in, serta tabi'ut tabi'in. Wallahu'alam bishshawab