KATA BIJAK

Manusia dan masalah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Jadi jangan pernah pisahkan dirimu dari ALLAH SWT. Sebab Dialah sebaik-baik penolong manusia dari beragam masalah........
Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.


Selasa, 13 Juni 2017

“Bencana Spiritual Nusantara”

“Bencana Spiritual Nusantara”

kontemplasi di awal tahun

 

“POTRET NEGERI YANG MENYEDIHKAN”

masyarakat yang bingung

di tengah negeri yang membingungkan

 

 

Negeri ini minimal memiliki 6 agama yang diakui pemerintah secara resmi. Banyak sekali khasanah spiritual dalam berbagai media komunikasi langsung dengan ruang publik. Melalui kegiatan sosial, ceramah, dialog, dan berbagai peringatan hari besar keagamaan. Kekayaan ilmu spiritual juga tampak dengan begitu mudahnya kita menemukan bahan bacaan sebagai refensi bagi siapapun yang ingin menggali spiritualitas secara lebih mendalam. Mulai dari tersedianya semua kitab suci agama dan kitab pendampingnya, serta buku-buku religi, bacaan ringan, makalah, artikel di media masa, majalah, tabloid, televisi, dan forum diskusi. Sangat banyak ! Tetapi mengapa negeri ini memiliki “predikat” yang sangat fantastis bikin malu. Yakni negeri paling korup, negeri penuh musibah dan bencana, termasuk negeri resiko besar penyakit AIDs, negeri pembalakan liar (illegal logging), negeri tempat berpestanya para penyeludup dalam negeri-luar negeri, bahkan sebagai ngeri konsumen sekaligus produsen narkoba, negeri generasi penerus “budaya” narkoba dengan 1,1 juta pelajarnya “maem” narkoba.

Tidak cukup itu saja, negeri ini masih mengkoleksi berbagai predikat sebagai negeri yang “indah” untuk dunia perselingkuhan, pelecehan sexual, dan gudang segala bentuk permesuman. Malah akhir-akhir ini mendapat stempel tambahan sebagai negeri yang kaya akan terorisme, bangsa yang gampang terpancing emosi, gampang diadu domba dan disulutapi provokator asing dan dalam negeri sendiri. Negeri yang penuh dengan intrik dan skandal politik, tunggang menunggang, hingga negeri penuh suap, kolusi, dan nepotisme. Membanggakan sekali ya ?

Mengapa bisa terjadi nasib sedemikian tragis menimpa negeri ini ? Benarkah negeri ini sudah menjadi tanah harapan para pemuja setan (nafsu) ? Benarkah tuduhan bahwa negeri ini sarangnya para si kapir si kopar seperti sering dituduhkan itu ?

Tapi, coba kita berfikir sederhana, sebelum mengambil kesimpulan tersebut. Kapir menurut pengetahuan saya, adalah orang yang nggak punya agama atau nggak percaya jika Tuhan itu ada. Masihkah ada orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, sekalipun manusia yang sangat jahat. Kok rasanya nggak ada ya ? Apa masih ada orang jahiliyah sekarang ini ? Karena negeri ini sudah terlanjur kondang di seantero jagad dunia manusia sebagai negeri yang agamis dan punya toleransi serta kerukunan beragama yang sangat ideal. Bangga sekali saya dengan “mimpi” ku ini. Biarpun kebanggaan ini kurasakan saat aku lelap tertidur.

Ketika aku bangun, terusik lagi dengan pikiran dunguku, jangan-jangan yang membanggakanku tadi hanyalah fenomena paradoksal bahwa  masyarakat kita yang merasa ke-GR-an sudah berilmu pengetahua luas dan spiritual tinggi. Jangan-jangan malah tingkat spiritualnya masih sebatas kulitnya saja ? Jika memang begitu adanya, berarti negeri ini mengalami peristiwa“spiritualis mati di lumbung ilmu spiritual”. “Pak profesor semaput kekenyangan makan buku“. Jangan-jangan tokoh dan masyarakat kebanyakan berlomba mengaku-ngaku, mengklaim, dan merasa “GR” ilmunya sudah mumpuni, spiritualnya sudah tinggi dapat melihat Tuhan sehingga omongannya harus dituruti, nasehatnya kudu didengar, perintahnya mampu mengubah nilai kharam-khalal, kemurkaannya dapat membuat dan menentukan dosa-pahala bagi orang lain, lalu merasa paling soleh, paling terpuji, paling baik, paling bener. Karena itu orang yang tidak sejalan dengan nafsu pikirannya,  serta merta disumpah menjadi kapir.

Dugaanku “prasangka buruk” ini tidak terlalu su’udhon (buruk), karena prasangka tersebut mirip sekali dengan ciri khas orang bodoh, yang hanya menguasai “KULIT“nya saja. Jika bener, pengetahuannya yang  sebatas KULIT itu bisa berbahaya sekali, karena potensial menimbulkan bentrokan dan perpecahan bangsa. Kalau nggak salah, pengetahuan KULIT inikayaknya sepadan dengan pelajaran SD ya ?. Nah…orang lupa atau nggak menyadari diri, jika tugasnya masih harus melanjutkan “sekolah” hingga setinggi-tingginya…! Bila hidup ini diumpamakan makan kelapa, orang harus menuntaskan hingga tak bersisa. Makan Kupas kulitnya dulu, lalu tempurungnya, nah dibalik tempurung itu ada daging kelapanya yang gurih. Tapi jangan keenakan makan daging kelapa saja..bisa cacingen lho, tugas kita adalah menuntaskan hingga minum air kelapanya. Air yang bening, menyegarkan dahaga spiritual. Air yang universal, enggak mengharuskan salah satu agamabahan pewarna dalam pencapaian spiritual, air universe  yang bening tapi memiliki rasa, yakni rasa kenikmatan dan anugrah Tuhan. Jangan-jangan air itu yang namanya hakekat ya ? Mungkinkah..negeri ini penuh dengan orang yang mengalami semaput akal-nuraninya karena kekenyangan makan kulit ? Kayaknya bisa jadi ya..

 

KIRA-KIRA SALAH SIAPA YA ?

Kalau dilihat dari gerak-geriknya kebanyakan orang sepertinya sedang mengalami kebingungan pula, setiap mau menjelajah ke dalam ruang spiritual yag lebih tinggi lagi, selalu ditakut-takuti..misalnya; Bahaya ! bisa tersesat, bid’ah, syirik, dan musyrik. Ada lagi alasan yang diharuskan; harus dituntun guru. Padahal sudah sekian banyaknya ilmu spiritual yg dibukukan, ditulis dalam makalah, naskah, forum diskusi, tayang di internet..semua itu kayaknya bisa mengganti peranan guru kan ? Mungkin, mungkin lho ya…, mungkin ketimbang mendapat resiko sesat, lalu orang lebih memilih tetap stagnan, mandeg dalam kebodohan, bahkan konon katanya ada hewan orang “hilang akal” mengkritik negeri ini dibilangnya lebih menikmati ke-jahiliah-an ketimbang harus mencoba dan berusaha menggapai spiritualitas yang lebih baik. Nggak tahu lah saya juga salah satu di antara rakyat negeri bingung yang sedang bingung. Tapi “khayalanku”, ada kesan bahwa orang lebih baik jahiliah ketimbang sesat. Lebih menikmati kulitnya (sekalipun mengandung kolesterol), ketimbang dagingnya (yang banyak mengandung gizi).  Wahduh..kalo gitu siap-siap saja, jika kita semua tidak segera suntik vaksinasi, atau berobat, atau minum jamu dan makan makanan bergizi tinggi, maka negeri ini bisa menemui azali ajal, dengan siksaan sekarat terlebih dulu karena mengalami gizi (spiritual) yang buruk. Lalu apa kira-kira solusinya..?

Minggu, 04 Juni 2017

Etika, sudah mulai lapuk di negeri ini

Etika, sudah mulai lapuk di negeri ini ...

Setiap orang di dunia ini  merindukan rumah, tempat dimana mereka akan pulang, tempat dimana orang-orang yang mereka sayangi berada. Pada hakikatnya, rumah bukan semata tempat  yang berbentuk bangunan segi empat atau bertingkat - tingkat. 

Tapi  rumah yang kita rindu kan itu sebuah rumah yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang, juga rasa saling menghormati dan menghargai serta saling bahu membahu untuk semua kepentingan hidup bersama, apakah di rumah itu berdiam sahabat, saudara, kekasih, suami, istri, anak, adik, kakak, maupun orang tua kita sendiri. Rumah yang kita rindukan itu sebuah tempat yang telah memberi contoh pengajaran tata cara ber etika dan mengajarkan nilai luhur kekeluargaan.  Etika yang  merupakan pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sudut pandang budaya, susila dan agama lalu  terintegrasi  yang ujungnya bermuara kepada bentuk  jati diri penghuninya. Etika ini biasa disebut juga adat, kebiasaan atau kesepakatan bersama sebagai  pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota keluarga  tentang apa yang dinilai baik dan buruk  di masyarakat sekitarnya.

Contoh etika yang umum kita perhatikan di dalam rumah seperti, mengucap salam, merendahkan suara saat berbicara dengan orang tua, meminta maaf jika lakukan kesalahan dan lain sebagainya. Kesemua aktifitas yang menjadi kebiasaan baik ini  berlaku dari generasi ke generasi menjadi budaya sebuah kelompok masyarakat yang berkembang dari rumah yang kita rindukan selama ini menjadi tradisi  yang selalu di informasikan atau diajarkan secara berkelanjutan.

from ; academyofautomotiveexcellence,comJika rumah kita analogikan sebagai negara. Dalam beberapa dekade ini kita melihat dan merasakan kondisi kekeluargaan telah mengalami moral hazard seperti  sikap acuh tak acuh terhadap nasib orang lain yang notabene adalah saudaranya sendiri, mungkin kita bisa menyebutkan bahwa rasa kekeluargaan yang ada di negara kita ini mulai ter gerus dengan nilai budaya yang tidak lagi mencerminkan kebersamaan, terlihat dari cara kita menghargai nilai etika dan kesepakatan yang tidak tertulis itu sebagai pedoman yang harus dipatuhi bersama tentang apa yang dinilai baik atau buruk dari sisi nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum. Oleh karena itulah penulis merasa perlu untuk menganalogikan antara negara dengan sebuah rumah tangga dalam arti kita lebih bisa melihat secara sederhana apa yang sedang terjadi dalam kehidupan bernegara saat ini.

Kita semua paham, bahwa di dalam keluarga itu ada ayah, ibu, dan anak. Kemudian ada juga keluarga lain yang juga tercatat sebagai anggota keluarga. Tugas-tugasnya pun secara tertulis atau tidak tertulis sudah sangat jelas. Seperti misalnya ayah bertugas memberikan nafkah keluarga, memberi rasa aman, dan memberikan rasa keadilan terhadap semua anggota keluarga. Kemudian ibu bertugas untuk mengelola jalannya rumah tangga, menjadi wakil dari ayah ketika beliau sedang tidak ada di rumah, dan menjadi pelengkap kekurangan ayah dalam ke pemimpinan nya. 

Sedangkan anak, sebelum ia berkeluarga, berkewajiban untuk patuh terhadap peraturan yang ada di rumah tersebut, menjadi kebanggaan keluarga, dan juga berhak mendapatkan perlindungan dari ayah dan ibu mereka. Secara sederhananya dari semua anggota keluarga tersebut harus saling menjaga dan melindungi. Jika satu anggota sakit maka sakitlah anggota keluarga yang lain begitu juga sebaliknya. Idealnya seperti itu.

Dalam kehidupan sebuah keluarga, akan sangat malu kalau mendapati salah satu dari anggota keluarganya yang tersangkut masalah berperilaku buruk  seperti “mencuri, menipu orang atau menyakiti orang lain“. Karena orang yang ada di dalam keluarga tersebut pasti akan berfikir beberapa kali tentang nama baik keluarganya ketika ia akan melakukan hal-hal yang buruk dan tidak lazim di dalam masyarakat.Begitu juga dalam kehidupan bernegara. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat itu berfungsi selayaknya bagai orang tua ( Ayah dan Ibu ) secara normatif harus mampu melindungi, mengayomi dan menjamin rakyatnya bisa hidup adil sejahtera lahir dan batinnya.  

Tak pernah terbayangkan ,ketika masalahnya kemudian muncul ketika  Dewan Perwakilan Rakyatnya (Ibu) tidak sepenuh hati untuk memenuhi tugas dan janjinya. Dengan kata lain acuh terhadap kepentingan rakyatnya, menganggap bahwa rakyat harus bisa menyelesaikan segala kepentingannya  sendiri dengan berbagai macam dalih, lalu melepaskan tanggung jawabnya dan sibuk mencari kesenangan pribadi dengan mencampuri urusan yang tidak sepantasnya di lakukan dalam arti menyimpang dari kesepakatan tugas dan tanggung jawabnya. 

Hal ini sungguh sangat melukai hati rakyat yang berharap kepada mereka. Malah yang lebih parahnya adalah jika oknum Dewan ini bertindak diluar batas norma kepatutan dan kepantasan yang bisa memberi kesengsaraan pada rakyat dan negara di kemudian hari. Dapat dikatakan  sebagai sikap seseorang yang tidak berempati kepada rakyat yang telah ikhlas memberi kan amanah yang suci namun dibalas dengan sikap tak peduli dalam arti hak yang diberikan rakyat di terlantar kan oleh oknum tadi di Dewan Perwakilan Rakyat yang mereka jadikan daulah orang yang dihormati nya. 

Karena seperti kita ketahui bahwa jika orang tuanya saja sudah tidak peduli maka siapa lagi yang diharapkan untuk mengurusi anak negeri ( rakyat ). Kita semua tak akan rela bila di kemudian hari terlantar dan menjadi budak di negeri sendiri sampai kiamat mungkin.. Kita semua, sebagai rakyat di negeri ini menggugat etika kalian semua itu ada dimana ???.yang seharusnya menjadi pengawal moral bangsa yang dapat dijadikan panutan untuk menghargai budaya bangsa yang luhur itu .

Kita berhak untuk bertanya kepada mereka ini .."Masih adakah etika dan rasa malu itu di hati mu wahai senator ??? atau etika itu sudah mulai lapuk di negeri ini...".